Langsung ke konten utama

Cerpen: Catatan yang Tertinggal


Catatan yang Tertinggal
Oleh: Winda Rahmawati


Bandung, 1 September 2017
            Namaku Adi, nama panjangku? Aaaaaaaaaaaaddddddddiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii…… Haha, aku benarkan? Tapi kalau kalian ingin tahu nama lengkapku tidak masalah, nama lengkapku Aditya Mahendra Surya Wijaya. Usiaku 22 tahun, muda dan tampan. Tapi itu kata emak haha..
Aku baru saja tiba di Bandung hari ini, dan tepat di hari ini pula aku kehilangan sesuatu yang berharga. Buku diary. Aku kehilangan buku diary, itu sangat penting bagiku dan aku tidak tahu kenapa aku bisa seteledor itu pada hal yang paling penting dalam hidupku. Mungkinkah ketinggalan? Atau terjatuh? Atau diambil orang? Ah, tapi yang terahir itu sepertinya tidak mungkin. Aku pun kembali ke dalam stasiun, untung masih di depan jadi aku tidak perlu mengeluarkan ongkos lagi. Haha iritologi mahasiswa tetap berlaku meski sampai di kampung halaman bro. sumpah sujud syukur, apalagi kalau langsung ketemu itu diary, bisa salat dhuha aku di stasiun. Udahan basa-basinya, cuss cari! Aku udah ada janji, dan aku gak mau dia menunggu lebih lama lagi.
Sembari berlari ke dalam aku telepon Raka, teman satu kosku untuk menanyakan buku diary itu. Aku pikir mungkin saja tertinggal atau terjatuh di kosan. Tapi aku rasa jika tertinggal itu tidak mungkin, Karena aku selalu membawanya kemanapun. Kecuali kamar mandi.
“Ya, hallo bro? Nape?”
“Gini Rak, lu ada liat buku diary gua gak di kosan?”
“Kagak tu. Pan lu bawa mulu kemana-mana”
“Cariin dulu gih”
“Hmmmm…..”
“……”
“kagak ada sumpah gua gak bohong”
“Oh yaudah tahnks ya”
“Kagak ada thanks-thanks’an segala. Balik lagi sini, bawa oleh-oleh lu!”
“Ah oke siap! Gampang itu sih, ntar gua bungkusin tahi kebo!”
“Sialan lu…”
“Haha pokonya thanks”
Hasilnya nihil, gak ada di kos. Aku mulai menghampiri petugas kereta untuk menanyakan apakah ada sebuah buku yang tertinggal di gerbong kereta yang aku naiki tadi.
“Maaf Pak, permisi.. maaf saya ingin bertanya. Apakah tadi ada sebuah buku yang tertinggal di gerbong kereta”
“Ah, iya. Buku diary?”
“Bener Pak, itu milik saya. Apa boleh saya mengambilnya kembali.”
“Riii… sini!” (Petugas itu memanggil temannya)
“Ada apa ya?”
“Ini, tadi kamu nemu buku diary kan di kereta? Itu punya masnya ini, tolong ambilin.”
“Oh, jadi masnya ini suka nulis diary?”
Sumpah bingung mau jawab apa, itu tadi sindiran atau pertanyaan? Senyumin ajalah biar kelar. Gak lama, perempuan itu pun kembali dengan membawa diary kecintaaku. Sujud syukur lagi, terima kasih Gusti! Seusai berterima kasih pada mereka, aku langsung bergegas menemui seseorang yang sangat ku rindukan, yang menungguku sejak lama. Aku datang hari ini, dan kamu orang pertama yang akan aku temui. Selalu menjadi orang pertama yang akan aku temui saat kembali ke kampung halaman.
Setelah dari stasiun aku langsung bergegas menemuinya, sepertinya dia marah. Karena dia tidak mau bicara apa padaku.
“Flow, jangan marah padaku, aku hanya terlambat 30 menit saja. Tadi ada sedikit insiden dengan buku diary ini.” (Sambil ku perlihatkan diary itu)
……
“Flow…?”
…….
“Aku bawa bunga lili buat kamu, tadi aku sempetin beli di jalan loh.., warnanya putih dan jingga. Bunga dan warna yang kamu suka. Ak mohon maafkan aku.”
…….
“Ayolah, apakah ini yang dilakukan sahabat kecilku untuk menyambut kedatanganku?”
Akirnya dia memelukku, hangat… dan manis sekali senyumannya….
Aku menghabiskan waktuku cukup lama bersamanya, kami bercerita tentang masa lalu kami, kenangan indah sedari kecil. Hingga sampailah ke titik terburuk, masa terburuk, dan ingatan terburuk yang terbungkus dalam kenangan itu. Aku tidak tahu, bahkan dia masih sempat tersenyum di hadapnku dengan ingatan buruk terkahir itu.

1 September 2013
Dokter Frans memeberiku sebuah buku diary dengan warna yang manis dan penuh harapan, semanis orang yang memilikinya dan seindah harapan-harapan yang selalu ia tulis di dalamnya. Flores Anggraini, dia adalah teman semasa kecilku, sekaligus cinta pertamaku. Sayangnya aku tak pernah sempat memberi tahunya tentang itu. Aku hanya lelaki cupu yang bahkan saat ini hanya mampu berdiri terdiam memandangi buku diary itu dalam genggaman tanganku.
            Sesungguhnya aku ingin tahu tentang apa yang tertulis di dalamnya, namun aku tak pernah berani menghadapi kenyataan yang mungkin saja akan membuatku terluka lebih dalam. Mentalku serasa seperti permen kapas yang menciut terkena udara. Semenjak dia dirawat, aku selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apakah aku ini benar-benar tidak bisa dipercaya?. Kenapa dia tidak pernah mau mengatakan apapun tentang sakitnya?. Kenapa dia selalu tersenyum dihadapanku meskipun ia kesakitan? Apa aku tidak pernah dianggap ada?
            Langkahku lunglai sambil kembali menuju ke kamar Flow yeng dipenuhi tangis dan terlihat jelas tubuh Flow yang tertutup kain seutuhnya. Aku tidak sanggup masuk ke dalam, lututku lemas hingga aku tersungkur. Dan jadilah aku laki-laki yang paling cengen saat itu.
            Sesaat setelah pemakamannya, aku kembali ke rumah dan menatap buku itu. Entah kenapa, saat melihat buku itu, rasanya aku seperti melihat Flow dihadapanku. Warna keduanya sama. Ceria dan penuh harapan. Jingga. Ribuan kali aku berpikir untuk membukanya, namun tetap saja tidak bisa. Aku ingin mencoba meraihnya, tapi aku takut aku tidak mendapat apa-apa. Aku ingin mengetahuinya, tapi aku takut pengetahanku sia-sia. Aku tahu jika, tidak membukanya, mungkin akan menjadi lebih sia-sia. Tapi aku tidak pernah ingin mengganggu privasinya. Biasanya jika dia ingin bercerita sesuatu aku tidak pernah memaksanya, dan aku rasa bila aku melakukannya itu akan sama saja dengan aku memaksanya bercerita. Ku urungkan lagi niatku untuk kesekian kali.
            Satu bulan berlalu dan aku masih belum bisa membuka buku diary itu, hatiku yang tak mampu, rasaku yang tak kuat. Akhirnya kuputuskan untuk mengunjungi Flow sembari membawa buku diarynya. Aku bahkan menceritakan kegelisahanku padanya. Dan entah bagaimana bisa, angin berhembus begitu kencang. Membuka lembar demi lembar buku diary itu. Apakah itu artinya, Flow ingin aku membacanya? Apakah aku boleh tahu Flow?
           
Halaman pertama…
 11 Januari 2012.
Hari ini Adi beliin aku es krim. Aaaaku suka…” Saat membacanya aku tersenyum dengan mudahnya

“22Februari 2012,
Adi mainnya keren, aku bangga. Jadi juara satu ya Diiii… biar bisa traktir aku lagi.” Aku ingat saat itu aku sedang dalam turnamen badminton antar kelas

“3 Maret 2013
Banyak yang menyukaimu.
Aku tidak peduli.
Semua orang berhak atas perasaannya,
Tak terkecuali aku.”
Aku terdiam membaca yang satu ini, lalu kubuka halaman selanjutnya. Hingga aku sadar akan suatu hal, perasaannya… dan perasaanku…


“13 Mei 2012,
Kamu keren hari ini Dii, kamu tahu aku suka sekali lihat kamu nyanyi seperti tadi sambil main gitar. Tapi lain kali kamu nyanyinya di depanku saja ya..”

“30 Agustus 2012,
Jarak kita saat itu
hanya satu langkah
dari sepasang kakiku
yang lebih memilih berhenti
dan membiarkan kedua bola mataku terpaku
melihat punggungmu yang semakin menjauh.
Sadarkah kau?” Air mataku pun meleleh

“20 Oktober 2012,
Di, aku gak bisa lama bareng kamu. Aku takut bila menyukaimu lebih jauh hanya akan membawa rasa sakit bagimu di kemudian hari. Maaf Di, anggap saja aku egois. Karena jika aku memilikimu, pada akhirnya nanti aku yang akan meninggalkanmu duluan.”

“31 Desember,
Tahun baru…
Aku habisin bareng kamu, temanku yang menyebalkan. Si jerapah ngeselin.
Tapi aku suka. Karena pada akhirnya kamu nyanyi buat aku sambil gitaran. Makasi ya.”

“3 Maret 2013,
Bentar lagi udah masuk tahun ajaran baru, kamu pasti jadi pergi jauh ya Di…
Aku harap kamu bahagia, karena setelah itu mungkin aku bakal pergi lebih jauh Di..”


“5 April 2013
Adi… Adi…. Adi…. Nama itu selalu inging ku sebut. Maafkan aku, aku mencintaimu.”

“2 Mei 2013
AKU INGIN SEMBUH”

“9 Mei 2013
Aku habis dimakan sepi,
Ditelan bersama pahit,
Dan dicernna menjadi hampa.”

“14 Mei 2013
Beberapa hari lalu aku sempat ingin menyerah, aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan dengan ragaku. Lalu aku pikir, jika memang ragaku sakit, maka pikiranku harus sehat dan bermanfaat.”


“17 JUNI 2013
Aku bersyukur setiap kali aku terbangun di pagi hari. Setidaknya Tuhan masih memberiku kesempatan untuk tersenyum di depan orang-orang tercintaku, termasuk kamu Di J

“1 Agustus 2017
Satu minggu lagi Adi ulang tahun, aku harap segala keinginannya terkabul, aku harap aku bisa memiliki cukup waktu untuk mengucapkan Selamat ulaang tahun kepadanya, aku harap aku bisa selalu tersenyum untuknya, dan aku harapkan segala yang terbaik untuk hidupnya. Bila sempat, aku akan habiskan banyak waktuku bersamanya dan bila mungkin, aku akan tua bersamanya. Sayangnya yang ku harapkan hanyalah segala ketidakmungkinan. Aku cukup senang dengan hanya melihatnya. Meskipun nanti aku tidak ada, bukankah aku masih tetap bisa melihatnya. Ah, itu tidak terlalu buruk kan selama aku tetap bisa melihatnya?.”

“8 Agustus 2013
Sebuah kue telah kusiapkan, tertengger pula lilin-lilin kecil di atasanya. Wajahnya tersipu malu karena mungkin dia merasa aneh dengan usianya yang semakin beranjak dewasa (remaja sih) masih saja mendapat kejutan seperti ini, terlebih lagi dia anak laki-laki. Hahaha selama aku ada dan selama aku bisa, aku akan selalu mengejutkanmu Di J Tapi tak bisa dipungkiri bahwa dibalik wajah malunya itu terpancar kebahagian yang haqiqi hehe. Aku memberinya sebuah hadiah yang mungkin cukup umum diberikan orang-orang sebagai hadiah.
            Sebuah jam tangan. Warnanya perpaduan hitam dan putih. Sebenarnya ada alasan tersendiri kenapa aku menghadiahinya jam tangan. Mungkin untuknya itu adalah hadiah yang biasa. Tapi jika dia ingin tahu, sebenarnya jam tangan itu ku berikan untuk memberikannya pesan bahwa waktu tidak bisa diputar kembali, bahwa aku ingin meghabiskan sisa waktuku bersamanya, bahwa aku ingin melihat dia bahagia di setiap waktunya bersamaku, bahwa aku ingin mengingatkannya jika waktuku tak banyak lagi, dan untuk warnanya.. aku sekedar memberi pesan, bahwa jika waktuku telah habis, maka aku tahu akan ada warna hitam yang menandakan duka. Aku hanya ingin ketika Adi melihat jam tangan itu, ia akan mengingat waktu-waktu berharganya bersamaku meski itu hanya kenangan, aku hanya ingin dia tahu bahwa kenangan indah itu tak kan bisa terulang, aku ingin dia mengenang semuanya, dan aku ingin setelah dukanya karena kepergianku akan ada rasa tulus mengikhlaskanku dan kebahagian baru baginya yang dilambangkan dengan warna putih. Aku tak bisa memberi banyak, sebenarnya ada satu hadiah lagi untuknya, tapi aku rasa itu belum saatnya kutunjukkan.”

“15 Agustus 2013
Entah kenapa aku terbangun di tempat berbeda, namun tak asing bagiku. Aroma obat tercium dimana-mana, terlihat tembok dan selimut putih, dan di sinilah aku berada. Rumah sakit. Aku tak ingat banyak, terakhir yang ku ingat adalah senyuman Adi di hari ulang tahunnya. Ya, satu minggu sudah aku koma. Rasanya sia-sia saja, waktuku yang seharusnya bisa kuhabiskan bersama Adi terbuang begitu saja hanya untuk terbaring tidak sadar di tempat ini. Aku benar-benar ingin memanfaatkan waktuku bersamnya, tapi lihatlah apa yang aku lakukan.”

“16  Agustus 2013
Pagi ini aku terbangun lagi, ku lihat ada beberapa tangkai bung lili favoritku. Bunga segar yang nampaknya baru saja diganti dengan yang baru. Tak lama setelah ku pandangi bunga itu, muncullah Adi dari balik pintu, Adi datang membawakanku makanan. Dia bertanya apakah aku suka bunganya, lalu kujawab Iya! Iya! Iya! Tentu saja, itu favoritku. Adi tersenyum. Aku rindu senyuman itu, senyuman yang tak kulihat salama satu minggu terakhir.Terima kasih bunganya Di, aku suka dua-duanya, bunganya dan orang yang memberikannya”

“30 Agustus 2013
Aku rasa aku benar-benar tidak punya banyak waktu lagi sekarang. Rasa sakit di kepalaku semakin menjadi, rasa sesak di dadaku juga semakin sulit ku control. Aku mulai kesulitan menutupinya dari Adi, tapi biar bagaimanapun aku tidak ingin dia tahu bahwa aku merasa kesakitan. Aku hanya ingin berbagi senyuman bersamanya, aku kuat, aku bisa, dan sampai akhir aku akan tetap tersenyum untuk Adi. Di, kamu jangan marah ya kalau aku pergi jauh. Tersenyumlah sepertiku agar aku pun dapat selalu tersenyum di tempat lain. Aku pamit Di, aku tahu aku gak bisa lama-lama, kamu  harus janji untuk menjaga dirimu baik-baik, kamu harus janji untuk tidak melupakanku, jadilah Adi yang selalu ceria, jadilah Adi yang selalu sabar, jadilah Adi yang selalu pintar menguasai dirinya, jadilah Adi yang baik dan selalu baik, seriuslah menuntut ilmu, jadilah Adi yang sukses, kunjungi aku bila waktumu luang. Dan ada sebuah kunci di tergantung di buku diaryku, ambillah untuk membuka loteng kamarmu. Ada hadiah terakhirku untukmu sayang. Maaf memanggilmu sayang, aku janji ini yang terakhir dan selamanya. Karena benar, aku menyayangimu sahabatku.”

            Ku baca hingga tuntas diary itu, air mataku tiada henti menetes. Aku bahkan tak peduli jika saat itu ada yang mengejekku cengeng atau menyedihkan. Laki-laki juga punya perasaan. Jadi jangan anggap kaum kami ini sebagai mahluk yang paling jahat terhadap wanita. 

“Terima kasih Flow, aku juga menyayangimu, mencintaimu. Maafkan aku yang terlambat menyadarinya, maafkan aku yang menjadi terakhir mengetahuinya. Maaf…” Air mataku menetes begitu saja
“Flow, aku pamit dulu ya. Baik-baik di sini dan istirahatlah dengan damai. Lusa aku sudah harus kembali ke Jakarta untuk kuliah. Asalamualiakum.” Pamitku padanya saat itu, usai kuhabiskan waktuku membaca buku diary bersamanya.

            Setibanya di rumah, aku langsung berlari menuju atap loteng kamarku. Suasananya gelap, lalu kutekan tombol lampu yang ada di sudut dinding dekat pintu. Tak kusangka, dia menyulap tempat tak terurus ini menjadi sebuah bengkel otomotif versi mini. Yah, berbagai miniatur otomotif tertata rapi dengan beragam koleksi yang selama ini bahkan aku yang berkeinginan tak pernah berniat untuk membelinya.
Di sudut dekat jendela Ia rangakai sebuah pohon memori, berbentuk seperti pohon cemara yang berupa ranting-ranting dan daun yang diganti dengan cetakan foto-foto kami berdua. Di dinding-dinding terpajang bingakai-bingkai tulisan indah lattering dengan beragam kata yang Ia tulis sendiri. Diletakkannya dua buah bangku untuk bersantai dekat sebuah rak yang Ia sediakan untuk menyimpan berbagai buku bacaan dan majalah otomotif. 
Terima kasih Flow, meski semua ini miniature, aku sangat menyukainya. Aku tak tahu kapan Ia menyiapkan semua ini, Ibu bilang Flow memang sering datang, tapi Ibu hanya tahu bahwa Flow datang untuk meminjam buku atau hanya menungguku. Ya, Flow memang seperti kucing yang bebas masuk rumah bahkan kamarku, tapi jangan berpikiran negatif. Kami tak pernah berbuat macam-macam, karena Ibu juga mengawasi kami.

            Jadi itulah kisahku saat pertama kali kehilangan Flow, saat pertama kali Flow mengizinkanku membaca diary itu. Jujur saja aku merasa bersalah, andai saja aku tidak terlambat menyadarinya, andai saja aku bukanlah seorang pengecut, setidaknya bila aku sempat mengungkapkannya.. Flow akan bahagia di akhir hidupnya. Setidaknya, Flow tiak akan pergi dengan membawa prasaannya sendiri.
“Maafkan aku Flow..” kataku lirih kepadanya
Tiba-tiba hembusan angin terasa begitu sejuk, kupejamkan mataku beberapa saat, dan… muncul Flow di hadapanku.
“Tak apa Adi, tidak ada kata terlambat untuk menyadari perasaan. Sekarangpun aku bahagia mengetahuniya” Kata Flow dengan senyum manis yang lebih manis dari manisnya gula tebu, kurma Arab, atau madu sekalipun.
Lalu perlahan kubuka mataku, mengingat senyuman manisnya, dan seperti orang tak waras tersenyum sendiri di hadapan namanya. Aku tahu ternyata dia benar-benar selalu ada untukku seperti yang dikatakannya dalam diary jingga kesayangannya.
Seperti kata Flow bahwa waktu terus berjalan ke depan, aku harus pamit pada Flow karena matahari sudah bersiap berganti shif dengan sang rembulan.
“Flow, aku pamit pulang dulu ya.. Ibu pasti juga merindukanku. Aku senang dapat menghabiskan waktuku bersamamu selama ini. Mungkin untuk sebagian orang, ini terlihat sia-sia. Bercerita sendiri di hadapan nisan selama hampir setengah hari. Tapi, menghabiskan waktu denganmu tak pernah sia-sia bagiku Flow. Selalu ada hal baru yang bisa kudapat selama bersamamu, selalu ada tulisan baru yang kubuat saat berjumpa denganmu. Terma kasih Flow, maaf aku harus meninggalkanmu sendiri di sini. Istirahatlah, kamu pasti lelah mendengarku mengoceh hampir seharian hehe..” Pamitku pada Flow, yang seperti orang tak waras berbicara sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan

Bagi kalian yang butuh referensi bagaimana menyusun sebuah laporan kegiatan, ini adalah salah satu referensi kedua saya, setelah sebelumnya saya sempat mengunggah contoh laporan kegiatan. Laporan kegiatan yang saya unggah ini berkaitan dengan dilaksanakannya Kuliah Kerja Lapangan di Pulau Dewata Bali pada April, 2018. Semoga apa yang saya unggah dapat bermanfaat. LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN BALI, 4 - 8APRIL 2018 KELOMPOK 9 KELAS 4 A WINDA RAHMAWATI        16410012 SOFI LAILATU ROHMAH 16410017 SELMA EKA NOVITA         16410022 YHOGA PRATAMA            16410025 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS PGRI SEMARANG 2018    LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN BALI, 4 - 8APRIL 2018 Disusun dan diajukan oleh KELOMPOK 9 KELAS 4 A WINDA...

Contoh Laporan Kegiatan

     Dalam lingkup sekolah, kuliah, ataupun dunia kerja, apa lagi dalam sebuah instansi tentunya anda pasti akan menemui dan mengikuti berbagai macam acara kegiatan yang bersifat formal. Salah satunya adalah sebuah acara seminar. Dan tak jarang pula anda harus dibebani untuk membuat sebuah laporan kegiatan yang rinci dan benar. Hal tersebut tentunya tak akan mudah bagi anda yang sebelumnya belum pernah membuat sebuah laporan kegiatan, mungkin anda akan merasa bingung dari mana anda harus mulai menyusun laporan anda, sedangkan date line waktu terus saja mengejar anda hingga menuju batas asa anda. Untuk itu pada kesempatan kali ini, saya akan berbagi kembali dengan anda mengenai bagaimana cara membuat laporan kegiatan beserta contoh yang akan saya berikan sewaktu saya mengikuti sebuah acara bertemakan "Bulan Bahasa".        Biasanya di dalam laporan kegiatan ada beberapa bab yang berisi judul, pembukaan dan penjelasan inti dari acara yan...

KELAHIRAN SASTRA INDONESIA

KELAHIRAN SASTRA INDONESIA Dalam dunia sastra, selama ini kita hanya mengetahui dan menikmati beberapa karya sastra dan satrawan-sastrawan yang popular dan sering kali kita dengar atau kita temukan pada pelajaran bahasa Indonesia di masa-masa berada di bangku sekolah dahulu. Contohnya saja nama-nama sastrawan popular seperti Chairil Anwar, WS. Rendra, Pramodya Ananta Thoer, Sapardi Djoko Damono, dll. Namun pernahkah terpikir di dalam benak kita sebuah pertanyaan mengenai kapan sebuah sastra terlahir? Lebih tepatnya lagi, kapankah kesusasastra Indonesia terlahir? Sebagai seseorang yang tertarik di bidang sastra ataupun sebagai seorang penikmat sastra atau bahkan sebagai seorang yang mendidikasihkan hidupnya di bidang sastra dan pendidikan bahasa dan sastra, hendaknya kita lebih bisa mengkritisi masalah-masalah kecil dan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang bisa saja timbul seperti ini dengan berpikir logis. Untuk itu mari kita cari tahu bagaiman dan kapan sastra Indonesia...