Langsung ke konten utama

ANALISIS CERPEN MELALUI PANDANGAN STANTON DENGAN PENDEKATAN OBJEKTIF, SEMIOTIK, INTERTEKSTUAL DAN DEKONSTRUKSI


ANALISIS CERPEN MELALUI PANDANGAN STANTON
DENGAN PENDEKATAN OBJEKTIF, SEMIOTIK, INTERTEKSTUAL DAN DEKONSTRUKSI


Mata Kuliah : Kajian Prosa Fiksi
Dosen Pengampu : Agus Wismanto, B.Sc., S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh:
Nama   : Winda Rahmawati
NPM   : 16410012
Kelas   : 4A PBSI




PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PGRI SEMRANG
2018/2019

KATA PENGANTAR
           
Syukur Alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah SWT, disertai puji syukur saya persembahkan kepada-Nya. Shalawat sejahtera bagi Nabi besar Muhammad SAW beserta handai tolan, sanak kerabat, sahabat rasul yang mulia, sampai pada kita para pengikutnya. Hingga akhirnya saya dapat menyelesaikan Makalah ini .  Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas individu Semester genap Mata Kuliah Kajian Prosa Fiksi Bahasa Indonesia di Universitas PGRI Semarang.
       Saya menyadari bahwa tanpa bantuan serta dorongan dari berbagai pihak, kecil kemungkinan makalah ini tidak dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada  dosen pengampu mata kuliah ini, Bapak Agus Wismanto. Semoga Allah SWT akan memberikan balasan yang berlipat ganda.
Saya menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak  demi penyempurnaan makalah-makalah selanjutnya. Akhir kata, saya harapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Karya sastra adalah karya yang kreatif dan imajinatif, bukan semata-mata imitatif. Kreatif dalam sastra berarti ciptaan, dari tidak ada menjadi ada. Kreatif dalam sastra juga berarti pembaharuan. Jika kesustraan tidak mengandung isi, sering dianggap sebagai karya yang tidak  bernilai. Setiap unsur dalam karya sastra saling berkaitan dan mempunyai hubungan dengan unsur lain. Sastra tidak sekadar bahasa yang dituliskan atau diucapkan, sastra tidak sekadar  bermain bahasa. Akan tetapi bahasa yang mengandung makna lebih, sastra mempunyai nilai yang dapat memperkaya rohani dan mutu kehidupan. Meski keselarasan yang ada dalam karya sastra tidak secara otomatis berhubungan dengan keselarasan yang ada dalam masyarakat tempat sastra itu lahir.
Cerpen adalah semacam cerita rekaan yang sering kita jumpai pada media cetak dengan uraian cerita yang pendek dan tidak kompleks. Dalam  novel pergolekan jiwa pelaku  mengakibatkan perubahan nasib, tetepi  dalam cerpen pergolekan  tersebut tidak harus mengakibatkan perubahan nasib tokoh pelakunya.

B. Rumusan Masalah
1.      Bagaiamana menganalisis cerpen menggunakan metode atau pandangan Stanton?
2.      Bagaiamana mengembangkan analisis melalui pandangan Stanton dengan menggunakan pendekatan objektif, semiotic, intertekstual, dan dekonstruksi?

C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana penerapan analisis cerpen menurut pandangan Stanton dengan tepat.
2.      Untuk mengembangkan pengetahuan dalam menganalisis cerpen melalui pendekatan objektif, semiotic, intertekstual, dan dekonstruksi.


BAB II
ANALISIS DENGAN MENGGUNAKAN PANDANGAN STANTON
DENGAN PENDEKATAN OBJEKTIF, SEMIOTIK, INTERTEKSTUAL DAN DEKONSTRUKSI

Stanton membedakan unsur pembangun sebuah prosa fiksi ke dalam tiga bagian; Fakta, Tema, dan Sarana Cerita.
Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian pada karya sastra itu sendiri, bebas dari hubungan realita pengarang maupun pembaca. Wellek dan Warren (1990) menyebut pendekatan objektif sebagai pendekatan intrinsik karena kajian difokuskan pada unsur instrinsik yang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran tersendiri.
Pendekatan objektif menghasilkan pendekatan struktural yang bertujuan memaparkan secermat mungkin makna karya sastra dari struktur katya sastra itu sendiri.
            Analisis cerpen melalui pandangan stanton dengan pendekatan objektif ini dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada karya sastra itu sendiri melalui tiga unsure pembangun prosa fiksi berdasarkan pendekatan Stanton, yaitu fakta, tema, dan sarana cerita.

I.            ANALISIS CERPEN MELALUI PANDANGAN STANTON DENGAN PENDEKATAN OBJEKTIF

A.    IDENTITAS CERPEN
Judul Cerpen  : Death Note
Penulis             : Anas Nawawi
Tahun              : 2018
Tebal               : 7 halaman
Genre              : Cerpen serius

B.     CERPEN
Hidup sungguh tak berguna. Bagiku, hidup tak lebih dari sampah. Kau setuju denganku? Silahkan saja kalau kau memiliki pendapat yang berbeda. Namun aku memiliki alasan kuat, kenapa aku mengutuk hidupku sendiri. [1]
Belasan tahun aku hidup, tak pernah sekalipun aku merasa dihargai. Merasa dicintai, apalagi memiliki seorang teman. Aku tak pernah mengenal apa itu yang dinamakan kasih sayang dan cinta. Orangtuaku sendiri, bahkan membuangku saat masih kecil. Mereka pikir, aku ini adalah aib yang harus disembunyikan, agar nama terhormat mereka tak tercoreng oleh adanya keberadaanku. Kau mungkin bisa menebaknya bukan, aku ini anak dari hasil hubungan gelap. Sampai akhirnya aku harus hidup bersama nenekku. Dia adalah seorang perempuan yang sudah tua dan pikun. Perlu kau tahu semenjak aku duduk di bangku sekolah, dari mulai sekolah dasar bahkan sampai aku SMP, tak ada yang mau berteman denganku. Oh, ayolah kawan! Kalian pikir siapa yang mau menjadi teman seorang ‘Gio Buston’, si anak gendut, aneh, pendiam, dan pecundang ini? Jika aku berada di kelas atau di mana pun aku berada, mereka selalu menjaga jarak denganku. Hanya karena aku ini terlalu tertutup dan pendiam. Mungkin mereka pikir aku ini gila. Ya! Aku memang gila. Dan memang tak ada orang yang mau berteman dengan orang gila sepertiku! Kau puas sekarang? [2]
Maka dengan alasan itulah, aku tak pernah memiliki seorang teman. Sepanjang hidupku aku terus terkungkung dalam kesendirian, kehampaan, dan kesedihan. Tak ada kata bahagia dalam kamus hidupku. Dan hari hari dalam hidupku yang semakin membuatku ingin mati saja, adalah karena perlakuan yang semena mena dari si George dan keempat temannya, Lucas, Tommy, Edden, dan Bill, berandalan di sekolah. Mereka ini adalah kawanan pengganggu yang tak pernah lelah menindasku. [3]
Nah, kawan, sekarang aku mau bertanya padamu. Kau tahu rasanya bagaimana dipermalukan di depan seluruh siswa di sekolahmu? Atau, bagaimana dengan bokong yang dimasukkan sarang lebah? Dikurung di dalam loker sempit dan gelap? Atau mungkin, kepalamu dimasukkan ke dalam WC penuh kotoran dan bakteri E-coli? Kau pernah mengalaminya? Nah, itulah yang setiap hari aku rasakan. Itulah Kegiatan sehari hariku di sekolah. Dan itulah apa yang dilakukan George dan teman temannya kepadaku. Setiap hari, setiap tahun selama aku bersekolah, hingga aku muak diperlakukan seperti orang bodoh. Kau mungkin bertanya: kenapa aku tak melawan? Alasannya sungguh klasik. Aku tak berani. Semakin aku berusaha melawan, semakin ganas pula perlakuan mereka kepadaku. Yah, Mereka memang pembully paling sadis di sekolah. Mereka bahkan tak segan mencelakai pecundang sepertiku. Jika ada kompetisi membully, aku yakin mereka pasti jadi juaranya. [4]
Seperti yang dilakukan mereka hari ini. Mereka mengejar di belakangku, seperti segerombolan pemburu yang tengah mengejar hewan buruannya. Waktu itu, adalah jam pulang sekolah. Makanya suasana sekolah sepi. Kali ini, aku dikejar karena aku memukul wajah si George. Awalnya mereka meminta uang saku milikku. Namun aku tak memberikannya, karena memang aku tak punya. Tapi mereka tak percaya, dan langsung mengeroyokku. Dan untuk bisa melarikan diri, dengan sekali hantam aku pukul hidung George dengan keras sehingga darah mengalir dari lubang hidungnya. Setelah itu mereka langsung mengejarku. [5]
“Tangkap dia! Jangan biarkan dia kabur!”
Aku masih terus berlari. Dengan nafas tersengal, aku mencari tempat untuk bersembunyi. Dan saat itu, yang kulihat hanya satu. Perpustakaan! Aku pun berlari ke sana, dan bersembunyi. Berharap dengan begitu, George dan gengnya kehilangan jejakku dan beranjak pergi. Mereka pun lalu sampai di depan perpustakaan, dan tak menyadari kalau aku bersembunyi di dalamnya.
“Ke mana perginya dia? cepat sekali menghilangnya” ujar Lucas.
“Mungkin ke arah kiri. Ayo kejar!” kata George, seraya pergi meninggalkan tempat itu. [6]
Aku bernafas lega. Keringat mengucur dari dahiku. Aku berusaha keras mengatur nafasku yang terengah engah, dan menormalisasi detak jantungku yang berdegup kencang. Untung saja, aku cepat cepat bersembunyi. Kalau saja aku tertangkap oleh mereka tadi, bisa bisa aku babak belur. [7]
Setelah beristirahat sejenak, aku baru tersadar kalau ruang perpustakaan dimana aku berada sangat sepi. Tak ada orang lain selain diriku. Yang dapat kulihat hanyalah rak rak yang tinggi dengan jejeran buku yang tersusun rapi di dalamnya. Tercium olehku aroma khas dari rak kayu tersebut. [8]
Tap… tap… tap…
Kupingku mendengar sesuatu. Aku terdiam beberapa saat, agar suara itu dapat kudengar dengan jelas. Suara itu terdengar seperti … suara langkah kaki! Seseorang muncul dari salah satu sudut ruangan. Orang itu, aku tak mengenalnya. Laki laki itu memakai kacamata tebal dan memakai seragam staff sekolah. Barangkali, dia adalah pustakawan perpustakaan ini. [9]
“Hei! sedang apa kau di sini? apa kau tidak tahu kalau perpustakaannya akan tutup?” kata orang itu. Ia berjalan mendekatiku. Dari name tagnya, aku dapat mengetahui kalau laki laki itu bernama Mr. Johan.
“Em…ee.. maafkan aku, pak. Aku tidak tahu kalau perpustakaan akan tutup. Aku minta maaf. Aku akan pergi dari sini” jawabku. Baru saja aku berbalik untuk berjalan pergi, dia memanggilku. [10]
“Tunggu Gio!”
Aku terdiam. Sebentar, apa aku tidak salah dengar? dia, memanggilku? dari mana dia tahu namaku sedangkan aku tidak mengenalinya? Aku berbalik, lalu menatapnya dengan wajah heran “Anda, memanggil saya, pak?” tanyaku.
Mr. Johan tidak langsung menjawab. Dia diam beberapa saat sambil menatap mataku. Entah kenapa, tak bisa kualihkan pandanganku darinya. kemudian, mataku menangkap kalau bibirnya tersenyum samar. Dia lalu berkata.
“Kamu anak yang kucari “ katanya.
Keningku mengkerut. “Maaf, pak. Tadi anda bilang apa?”
Dia lalu tersenyum. Senyuman misterius. “Ikuti aku. Ada yang ingin kutunjukkan padamu” katanya. Dia berbalik, lalu berjalan menjauh.
Aneh sekali. Aku bahkan tak mengenal orang itu. Tapi Mr. Johan tahu namaku. Apa mungkin dia itu teman orangtuaku dulu?
Entahlah. Aku juga tidak tahu. [11]
Entah muncul dorongan dari mana, aku pun menurut untuk mengikutinya. Dia membawaku ke salah satu sudut perpustakaan. Di paling pojok, dimana kebanyakan buku buku di rak ini sudah berdebu dan ditutupi sarang laba laba. Aku memang tidak hafal betul bagaimana persisnya seluk beluk ruangan perpustakaan ini, karena aku bukan tipikal orang yang rajin meminjam buku. Namun yang jelas, ruangan ini cukup luas. [12]
Mr. Johan berhenti di depan salah satu rak buku. Ia pun lalu berjinjit, sambil menggapai sesuatu di atas rak. Ia lalu memberikan ‘sesuatu’ itu padaku. Aku menerimanya. Itu adalah sebuah buku. Kubuka halamannya, ternyata sebuah buku catatan. “Apa ini?”
“Gio, kau selalu menjadi bahan bully George dan teman temannya bukan? aku tahu kau kesal. Aku tahu kau pasti tidak mau lagi diperlakukan seperti orang yang tak berguna oleh mereka.”
Hei, tunggu dulu! apa tadi dia bilang? bagaimana ia bisa tahu? “Apa maksudmu pak, aku sama sekali tak mengerti”
“Aku berikan buku ini, agar kau bisa menghukum mereka. Membalaskan setiap hal tak menyenangkan yang mereka lakukan padamu. Tulislah semuanya Gio, tuliskan! agar mereka bisa merasakannya! karena apapun yang kau tulis di sana, itu semua akan menjadi kenyataan. Apapun itu, Gio, apapun itu” [13]
“Dengan hanya menuliskan keinginanmu dan meneteskan setetes darahmu, Kau bisa melakukan hal hal luar biasa dengan buku itu, Gio. Termasuk…” Dia mendekatkan mulutnya ke kupingku, lalu berbisik “Membunuh mereka”. [14]
I..ini, sama sekali tak masuk akal. Laki laki ini sudah tak waras. Aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan. Kupikir secepatnya aku harus pergi dari sini. Aku lalu melempar buku itu ke sembarang tempat. “Maafkan aku, pak. Tapi sepertinya anda harus pergi ke Psikiater” Kemudian aku beranjak pergi.
“Silahkan saja kalau kau tak percaya. Tapi, buku ini telah memilihmu. Dia memintamu untuk menuliskan setiap kebencianmu terhadap mereka, setiap dendam dan amarah. Pada akhirnya, buku ini akan mengikutimu, dan kau akan membalas mereka”.
“Namun ingatlah. Akan ada hal berharga yang harus kau bayar untuk setiap pembalasan dendam” [15]
Sesamapainya di rumah, aku masih tak percaya dengan apa yang kualami di perpustakaan tadi siang. Laki laki bernama Mr. Johan itu sungguh aneh. Mungkin dia memang tidak waras. Tapi yang membuatku tak habis pikir, kenapa dia tahu tentangku? tentang George dan gengnya yang setiap hari membullyku? ini sungguh membuatku terheran heran.
Aku pun meraih buku Fisika di dalam tasku, mengingat ada PR yang harus kukerjakan dan besok harus sudah dikumpulkan. Namun, sepertinya aku mendapatkan sesuatu yang asing. Dan sesuatu itu membuat mataku terbelalak. i..ini, buku yang tadi siang? kenapa bisa ada di tasku? bukannya sudah kubuang tadi di perpustakaan? bagaimana mungkin benda ini bisa berada dalam tasku. Aneh sekali. Apa mungkin, yang dikatakan Mr. Johan tadi siang itu benar? Buku ini, bukan buku biasa. Dan dia telah mengikutiku untuk meminta pembalasan dendam? [16]
Aku pun membuka halaman pertama dari buku catatan itu. Kosong. Semuanya masih kosong. Kertasnya berwarna kuning kecokelatan. Dan sudah tampak kusam. Barangkali buku ini sudah terlalu lama tersimpan di rak buku. [17]
Aku menimang-nimang apa yang akan kulakukan pada buku ini. Haruskah kutuliskan semua keinginanku untuk balas dendam pada George dan gengnya? Apa memang benar buku ini dapat melakukan hal itu? jika memang benar, aku hanya ingin semuanya berakhir. Tak ada lagi pembullyan. Tak ada lagi perlakuan yang memalukan. Tapi, aku juga ingin mereka merasakan kesakitan. Aku ingin mereka mendapatkan balasan yang setimpal. [18]
Kuambil sebuah pulpen. Lalu, dengan pasti kugoreskan pena itu ke halaman kertas kosong, meliuk liuk, menuliskan setiap keinginan jahatku pada mereka. Ini memang yang seharusnya kulakukan. [19]
“George, Lucas, Tommy, Edden, dan Bill. Mereka semua orang yang jahat. Mereka orang yang membuat hidupku sengsara. Mereka yang membuat hari hariku tampak menyedihkan. Aku ingin, mereka semua merasa kesakitan. Kesakitan yang amat menyakitan. Kalau perlu, musnahkan mereka dari bumi ini. Karena aku sangat muak terus menerus diperlakukan buruk oleh mereka. Aku ingin mereka semua mati dengan tragis. Dengan begitu, tak akan ada lagi yang mengganggu hidupku.” Aku semakin bernafsu menuliskan keinginanku untuk balas dendam.
“Mereka harus binasa!”
“Mereka harus mati!”
“Mereka harus lenyap!” Aku tersenyum licik. “Untuk selamanya…”[20]
Aku menaruh pulpenku. Dan yang perlu kulakukan selanjutnya, tinggal meneteskan darahku di atasnya. Aku mengambil sebuah pisau kecil, kudekatkan jariku di atasnya. Lalu kuiris jariku, hingga darah menetes jatuh ke arah tulisan tulisan itu. [21]
Dan aku tersentak kaget begitu melihat yang terjadi setelahnya. Setetes darah itu, bergerak. Menyebar, lalu menutupi seluruh permukaan kertas hingga menjadi merah. Ini, sungguh aneh dan mengejutkan. Buku itu lalu bergerak gerak, lalu menutup dengan sendirinya. Sesaat setelah itu, entah datang dari mana, terdengar suara tawa menakutkan yang menggema. Yang sedetik kemudian lenyap. Begitu kubuka lagi halaman yang sudah kutulisi, tulisanku lenyap begitu saja. Tak berbekas, seperti belum pernah digores pena. [22]
Keesokan harinya, sekolahku dihebohkan dengan kabar mengejutkan perihal murid yang hilang. Begitu melihat papan pengumuman yang disesaki oleh murid murid, aku pun mencoba mendekatinya. Terdengar olehku mereka berbisik tentang suatu hal. Namun karena terlalu berisik, aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. [23]
Aku pun mencoba melihat lebih dekat tentang apa yang diumumkan di papan pengumuman. Dan mataku terbelalak begitu melihat berita itu. George dan empat temannya, hilang secara misterius. Polisi tengah menyelidiki kasus ini, namun minimnya saksi membuat kasus ini susah untuk dipecahkan. Mereka seakan lenyap ditelan bumi. [24]
Entah apa yang sedang bergemuruh dalam dadaku setelah membaca berita itu. Sedih, kecewa, atau justru senang? Ya, aku akui yang paling dominan adalah rasa senang dan lega. Karena akhirnya mereka mendapatkan balasannya. Namun, tak dapat kupungkiri, jauh di lubuk hatiku ada setitik rasa penyesalan dan iba terhadap apa yang menimpa mereka. [25]
Dan rasa bersalah itu, masih terus menghantuiku hingga seminggu kedepannya. Aku terus memikirkan apa yang menimpa George dan teman temannya. Sudah seminggu ini, mereka belum juga ditemukan. Aku tidak tahu di mana mereka saat ini, dan bagaimana keadaan mereka. Terbersit rasa menyesal dalam diriku. Yah, meskipun mereka memang anak berandal yang keterlaluan, aku tak pantas melakukan hal buruk itu pada mereka semua. Jika begitu, apa bedanya aku dengan mereka? [26]
Dan aku pun memutuskan untuk mengembalikan buku itu pada Mr. Johan. Mungkin dengan begitu, dia bisa membantuku untuk mematahkan kutukan yang kuberikan pada George dan teman temannya. [27]
Siang ini, sehabis pulang sekolah aku hendak pergi ke ruang perpustakaan. Langit di atas sana begitu mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Aku bergegas menuju ruang perpustakaan. Semoga saja Mr. Johan ada di sana. [28]
Aku membuka pintu, hingga menimbulkan decit suara yang mengganggu. Aku berjalan memasuki ruangan. Gelap, dan sepi. Tak ada siapa-siapa. Namun aku mendengar suara aneh. Entah bagaimana cara mendeskripsikannya, namun suara itu terdengar seperti sesuatu yang tengah dikoyak-koyak. Aku berjalan mengikuti asal suara itu. Insting kupingku membawaku ke sebuah ruangan yang berada di paling pojok. Ruangan itu gelap dan tak berpintu. Barangkali itu gudang. Namun, suara itu muncul dari dalam sana. [29]
Bau tajam yang menusuk langsung menyergap hidungku begitu aku memasuki ruangan itu. Baunya seperti bau bangkai. Karena ruangan yang gelap, aku jadi tidak bisa melihat dengan jelas. Namun, karena ada cahaya matahari yang menyelinap melalui celah celah, setidaknya aku bisa melihat ada apa di ruangan itu. [30]
Lalu mataku terbelalak begitu melihat ada apa di ruangan itu. Itu… Itu… Apa aku tak salah lihat? Astaga! Itu, kepala Lucas, Tommy, Edden, dan juga Bill. Seketika aku mau muntah melihat pemandangan itu. Darah berceceran di mana mana. Dan kepala mereka, terpisah dari badan mereka yang sudah koyak, sehingga memperlihatkan organ dalam yang semakin membuatku tak tahan melihatnya. [31]
Dan samar samar, aku melihat sesuatu bergerak. Sosok itu berwarna hitam dan besar. Dia tengah mengoyak ngoyak sesuatu, yang digantung oleh tali. Tunggu dulu, apa itu? Seperti paruh, dan… sayap? Oh tuhan! Itu… Itu…
Makhluk itu menyadari keberadaanku. Dia berpaling ke arahku dari makanannya. Dan ternyata, yang tengah ia makan adalah! Mayat George! [32]
Makhluk mengerikan itu berkepala gagak, dengan paruh besar dan sayap hitam, namun bertubuh layaknya manusia. Paruhnya berlumur darah dan sisa-sisa organ tubuh yang ia makan. Sejenak aku tak mampu melangkahkan kakiku untuk pergi begitu dia menghampiriku. Dalam hitungan detik, dia bertransformasi menjadi seorang manusia. Dan seseorang itu adalah “Mr. Johan? kau? kau Yang… yang melakukan ini semua?”
Dia tersenyum menakutkan. “Sekarang, dendammu dan keinginanmu sudah terbalaskan. Berkat kau, aku mendapatkan santapan yang lezat” ia mengelap mulutnya yang bersimbah darah segar. [33]
“Ja… Jadi, karena buku ini, kau? Astaga! jadi aku telah melakukan kesepakatan dengan Iblis? kau benar benar Iblis! Terkutuklah kau!”
Dia tertawa. “Kau sungguh naif, Gio. Setiap manusia, siapapun dia, pasti selalu memiliki kebencian. Dan kebencian itu yang membuat mereka tak ada bedanya dengan Iblis” [34]
Dia mendekatiku. Badanku gemetar hebat, tak bisa berlari. “Dendam sudah terbalaskan. Dan harus ada hal berharga yang harus kau bayar!” katanya. Aku tebelalak, dengan segenap tenaga, aku berusaha berlari dari tempat itu. Namun, dia, secepat kilat, mengibaskan sayap besarnya, hingga aku tak sadar kalau dia sudah berdiri di hadapanku. Aku tak bisa ke mana mana. Tidak, aku tidak mau mati! Tamatlah sudah riwayatku!
“Dan hal berharga itu, adalah nyawamu!” paruh runcingnya melesat secepat kilat, lalu darah segar bercucuran.
“Tidaaaakkkkkkk!” [35]

C.    FAKTA
1.      Alur, rangkaian cerita yang menunjukan hubungan sebab akibat.
Dari bentuknya, cerpen ini menggunakan bentuk alur lurus, karena cerita tersebut tersusun secara runtut mulai awal, tengah, samapai dengan akhir.
Dari segi kuantitasnya, termasuk alur tunggal/rapat, karena ceritanya tidak berkembang.

Unsur Alur:
a.       Konflik merupakan unsur utama dalam alur cerita.
Konflik dalam cerpen tersebut terjadi pada saat geng George menghilang secara misterius setelah Gio membuat permohonan dalam buku death note untuk menghabisi George dan kawan-kawannya dan Gio merasa bersalah atas perbuatannya setelah seminggu George dan kawan-kawannya tidak ditemukan. Hal tersebut dapat dilihat pada paragraph ke 24-26.
Aku pun mencoba melihat lebih dekat tentang apa yang diumumkan di papan pengumuman. Dan mataku terbelalak begitu melihat berita itu. George dan empat temannya, hilang secara misterius. Polisi tengah menyelidiki kasus ini, namun minimnya saksi membuat kasus ini susah untuk dipecahkan. Mereka seakan lenyap ditelan bumi. [24]
Entah apa yang sedang bergemuruh dalam dadaku setelah membaca berita itu. Sedih, kecewa, atau justru senang? Ya, aku akui yang paling dominan adalah rasa senang dan lega. Karena akhirnya mereka mendapatkan balasannya. Namun, tak dapat kupungkiri, jauh di lubuk hatiku ada setitik rasa penyesalan dan iba terhadap apa yang menimpa mereka. [25]
Dan rasa bersalah itu, masih terus menghantuiku hingga seminggu kedepannya. Aku terus memikirkan apa yang menimpa George dan teman-temannya. Sudah seminggu ini, mereka belum juga ditemukan. Aku tidak tahu di mana mereka saat ini, dan bagaimana keadaan mereka. Terbersit rasa menyesal dalam diriku. Yah, meskipun mereka memang anak berandal yang keterlaluan, aku tak pantas melakukan hal buruk itu pada mereka semua. Jika begitu, apa bedanya aku dengan mereka? [26]

b.      Penundaan/ suspens merupakan unsur cerita yang menyebabkan pembaca bertanya-tanya.
Cerpen tersebut tidak memiliki suspens/penundaan karena memiliki alur rapat.
c.       Pembayangan merupakan unsur yang fungsinya menghubungkan rangkaian peristiwa.
Cerpen tersebut tidak memiliki unsure pembayangan karena alurnya rapat/tunggal.

2.      Tokoh/ Penokohan
a.       Tokoh
Tokoh utama         : Gio Buston
Tokoh sampingan : George, Lucas, Tommy, Edden, Bill, dan Mr. Johan
b.      Tipe tokoh
Protagonis       : Gio Buston
Antagonis        : Mr. Johan
c.       Bentuk watak tokoh
Datar                           : George, Lucas, Tommy, Edden, dan Bill
Datar berkembang/Dinamis    : Gio Buston dan Mr. Johan
d.      Penokohan dan penampilan tokoh
§  Cara Analitik
Ø  Gio Buston : penakut dan pendendam
Penakut:
“Kau mungkin bertanya: kenapa aku tak melawan? Alasannya sungguh klasik. Aku tak berani.” [13-4]

Pendendam:
“George, Lucas, Tommy, Edden, dan Bill. Mereka semua orang yang jahat. Mereka orang yang membuat hidupku sengsara. Mereka yang membuat hari hariku tampak menyedihkan. Aku ingin, mereka semua merasa kesakitan. Kesakitan yang amat menyakitan. Kalau perlu, musnahkan mereka dari bumi ini. Karena aku sangat muak terus menerus diperlakukan buruk oleh mereka. Aku ingin mereka semua mati dengan tragis. Dengan begitu, tak akan ada lagi yang mengganggu hidupku.” Aku semakin bernafsu menuliskan keinginanku untuk balas dendam.
“Mereka harus binasa!”
“Mereka harus mati!”
“Mereka harus lenyap!” Aku tersenyum licik. “Untuk selamanya…””
[10-20]

Ø  Mr. Johan: siluman burung yang sadis dan penipu
Siluman burung yang adis
“Lalu mataku terbelalak begitu melihat ada apa di ruangan itu. Itu… Itu… Apa aku tak salah lihat? Astaga! Itu, kepala Lucas, Tommy, Edden, dan juga Bill. Seketika aku mau muntah melihat pemandangan itu. Darah berceceran di mana mana. Dan kepala mereka, terpisah dari badan mereka yang sudah koyak, sehingga memperlihatkan organ dalam yang semakin membuatku tak tahan melihatnya. [31]
Dan samar samar, aku melihat sesuatu bergerak. Sosok itu berwarna hitam dan besar. Dia tengah mengoyak ngoyak sesuatu, yang digantung oleh tali. Tunggu dulu, apa itu? Seperti paruh, dan… sayap? Oh tuhan! Itu… Itu…
Makhluk itu menyadari keberadaanku. Dia berpaling ke arahku dari makanannya. Dan ternyata, yang tengah ia makan adalah! Mayat George! [32]
Makhluk mengerikan itu berkepala gagak, dengan paruh besar dan sayap hitam, namun bertubuh layaknya manusia. Paruhnya berlumur darah dan sisa-sisa organ tubuh yang ia makan. Sejenak aku tak mampu melangkahkan kakiku untuk pergi begitu dia menghampiriku. Dalam hitungan detik, dia bertransformasi menjadi seorang manusia. Dan seseorang itu adalah “Mr. Johan? kau? kau Yang… yang melakukan ini semua?”
Dia tersenyum menakutkan. “Sekarang, dendammu dan keinginanmu sudah terbalaskan. Berkat kau, aku mendapatkan santapan yang lezat” ia mengelap mulutnya yang bersimbah darah segar.
[33]

Penipu
“Ja… Jadi, karena buku ini, kau? Astaga! jadi aku telah melakukan kesepakatan dengan Iblis? kau benar benar Iblis! Terkutuklah kau!”
Dia tertawa. “Kau sungguh naif, Gio. Setiap manusia, siapapun dia, pasti selalu memiliki kebencian. Dan kebencian itu yang membuat mereka tak ada bedanya dengan Iblis”
[34]

§  Cara Dramatik
Ø  Gio Buston: anak gendut, aneh, pendiam, pecundang, tertutup, dan naïf.
Gendut, aneh, pendiam, pecundang, dan tertutup
Oh, ayolah kawan! Kalian pikir siapa yang mau menjadi teman seorang ‘Gio Buston’, si anak gendut, aneh, pendiam, dan pecundang ini? Jika aku berada di kelas atau di mana pun aku berada, mereka selalu menjaga jarak denganku. Hanya karena aku ini terlalu tertutup dan pendiam. Mungkin mereka pikir aku ini gila. Ya! Aku memang gila. Dan memang tak ada orang yang mau berteman dengan orang gila sepertiku! Kau puas sekarang? [2]

Naif
“Ja… Jadi, karena buku ini, kau? Astaga! jadi aku telah melakukan kesepakatan dengan Iblis? kau benar benar Iblis! Terkutuklah kau!”
Dia tertawa. “Kau sungguh naif, Gio. Setiap manusia, siapapun dia, pasti selalu memiliki kebencian. Dan kebencian itu yang membuat mereka tak ada bedanya dengan Iblis”
[34]

Ø  George, dkk: semena-mena, berandalan, pengganggu, penindas, pembully
semena-mena, berandalan, pengganggu dan penindas
“Maka dengan alasan itulah, aku tak pernah memiliki seorang teman. Sepanjang hidupku aku terus terkungkung dalam kesendirian, kehampaan, dan kesedihan. Tak ada kata bahagia dalam kamus hidupku. Dan hari hari dalam hidupku yang semakin membuatku ingin mati saja, adalah karena perlakuan yang semena-mena dari si George dan keempat temannya, Lucas, Tommy, Edden, dan Bill, berandalan di sekolah. Mereka ini adalah kawanan pengganggu yang tak pernah lelah menindasku.” [3]

Pembully
Yah, Mereka memang pembully paling sadis di sekolah. Mereka bahkan tak segan mencelakai pecundang sepertiku. Jika ada kompetisi membully, aku yakin mereka pasti jadi juaranya.” [4]

Ø  Mr. Johan : Iblis
“Ja… Jadi, karena buku ini, kau? Astaga! jadi aku telah melakukan kesepakatan dengan Iblis? kau benar benar Iblis! Terkutuklah kau!”
Dia tertawa. “Kau sungguh naif, Gio. Setiap manusia, siapapun dia, pasti selalu memiliki kebencian. Dan kebencian itu yang membuat mereka tak ada bedanya dengan Iblis”
[34]

3.      Latar
·         Latar sosial :
Gio lahir dan besar dalam keluarga dan lingkungan sosial yang berantakan. Ia dibuang ibunya dan tinggal bersama neneknya, lingkungan sekolahnya pun tidak baik karena di lingkungan sekolahnya, Gio selalu dibully.
“Belasan tahun aku hidup, tak pernah sekalipun aku merasa dihargai. Merasa dicintai, apalagi memiliki seorang teman. Aku tak pernah mengenal apa itu yang dinamakan kasih sayang dan cinta. Orangtuaku sendiri, bahkan membuangku saat masih kecil. Mereka pikir, aku ini adalah aib yang harus disembunyikan, agar nama terhormat mereka tak tercoreng oleh adanya keberadaanku. Kau mungkin bisa menebaknya bukan, aku ini anak dari hasil hubungan gelap. Sampai akhirnya aku harus hidup bersama nenekku. Dia adalah seorang perempuan yang sudah tua dan pikun. Perlu kau tahu semenjak aku duduk di bangku sekolah, dari mulai sekolah dasar bahkan sampai aku SMP, tak ada yang mau berteman denganku. Oh, ayolah kawan! Kalian pikir siapa yang mau menjadi teman seorang ‘Gio Buston’, si anak gendut, aneh, pendiam, dan pecundang ini? Jika aku berada di kelas atau di mana pun aku berada, mereka selalu menjaga jarak denganku. Hanya karena aku ini terlalu tertutup dan pendiam. Mungkin mereka pikir aku ini gila. Ya! Aku memang gila. Dan memang tak ada orang yang mau berteman dengan orang gila sepertiku! Kau puas sekarang? [2]
Maka dengan alasan itulah, aku tak pernah memiliki seorang teman. Sepanjang hidupku aku terus terkungkung dalam kesendirian, kehampaan, dan kesedihan. Tak ada kata bahagia dalam kamus hidupku. Dan hari hari dalam hidupku yang semakin membuatku ingin mati saja, adalah karena perlakuan yang semena mena dari si George dan keempat temannya, Lucas, Tommy, Edden, dan Bill, berandalan di sekolah. Mereka ini adalah kawanan pengganggu yang tak pernah lelah menindasku. [3]

·         Latar tempat:
1.      Sekolah
“Seperti yang dilakukan mereka hari ini. Mereka mengejar di belakangku, seperti segerombolan pemburu yang tengah mengejar hewan buruannya. Waktu itu, adalah jam pulang sekolah. Makanya suasana sekolah sepi.” [5]
2.      Perpustakaan
“Aku masih terus berlari. Dengan nafas tersengal, aku mencari tempat untuk bersembunyi. Dan saat itu, yang kulihat hanya satu. Perpustakaan! Aku pun berlari ke sana, dan bersembunyi. Berharap dengan begitu, George dan gengnya kehilangan jejakku dan beranjak pergi. Mereka pun lalu sampai di depan perpustakaan, dan tak menyadari kalau aku bersembunyi di dalamnya.” [6]
3.      Rumah Gio
“Sesamapainya di rumah, aku masih tak percaya dengan apa yang kualami di perpustakaan tadi siang. Laki laki bernama Mr. Johan itu sungguh aneh. Mungkin dia memang tidak waras.” [16]
4.      Pojok ruang perpustakaan/gudang perpustakaan
“Aku membuka pintu, hingga menimbulkan decit suara yang mengganggu. Aku berjalan memasuki ruangan. Gelap, dan sepi. Tak ada siapa-siapa. Namun aku mendengar suara aneh. Entah bagaimana cara mendeskripsikannya, namun suara itu terdengar seperti sesuatu yang tengah dikoyak-koyak. Aku berjalan mengikuti asal suara itu. Insting kupingku membawaku ke sebuah ruangan yang berada di paling pojok. Ruangan itu gelap dan tak berpintu. Barangkali itu gudang. Namun, suara itu muncul dari dalam sana.”[29]

·         Latar historis/waktu:
1.      Hari ini
2.      Saat pulang sekolah
“Seperti yang dilakukan mereka hari ini. Mereka mengejar di belakangku, seperti segerombolan pemburu yang tengah mengejar hewan buruannya. Waktu itu, adalah jam pulang sekolah. Makanya suasana sekolah sepi.” [5]
3.      Keesokan hari
Keesokan harinya, sekolahku dihebohkan dengan kabar mengejutkan perihal murid yang hilang. Begitu melihat papan pengumuman yang disesaki oleh murid murid, aku pun mencoba mendekatinya. Terdengar olehku mereka berbisik tentang suatu hal. Namun karena terlalu berisik, aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.” [23]
4.      Selang seminggu
“Dan rasa bersalah itu, masih terus menghantuiku hingga seminggu kedepannya. Aku terus memikirkan apa yang menimpa George dan teman temannya. Sudah seminggu ini, mereka belum juga ditemukan. Aku tidak tahu di mana mereka saat ini, dan bagaimana keadaan mereka. Terbersit rasa menyesal dalam diriku. Yah, meskipun mereka memang anak berandal yang keterlaluan, aku tak pantas melakukan hal buruk itu pada mereka semua. Jika begitu, apa bedanya aku dengan mereka?” [26]
5.      Siang hari
Siang ini, sehabis pulang sekolah aku hendak pergi ke ruang perpustakaan. Langit di atas sana begitu mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Aku bergegas menuju ruang perpustakaan. Semoga saja Mr. Johan ada di sana.” [28]

D.    TEMA
Hal yang menjadi dasar cerita.Tema yang terdapat pada cerpen ini adalah moral.

E.     SARANA CERITA
Sarana cerita atau yang sering kita kenal sebagai sarana pengucapan sastra. Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen ini adalah pengaran sebagai sudut pandang orang pertama pelaku utama karena pengarang berperan sebagai aku (Gio).  Untuk gaya bahasa, dalam cerpen tersebut terdapat penggunaan beberapa majas sebagai berikut:
a.       Eufemisme: gaya bahasa yang menggantikan kata yang lebih halus, sehingga lebih sopan.
§  Hubungan gelap. [2]
b.      Litotes : Gaya bahasa untuk melukiskan hal sekecil-kecilnya untuk merendahkan diri
§  Kalian pikir siapa yang mau menjadi teman seorang ‘Gio Buston’, si anak gendut, aneh, pendiam, dan pecundang ini? [2]
c.       Personifikasi: Gaya bahasa yang mengungkapkan benda mati layaknya manusia.
§  Jika aku berada di kelas atau di mana pun aku berada, mereka selalu menjaga jarak denganku. [2]
§  kemudian, mataku menangkap kalau bibirnya tersenyum samar. Dia lalu berkata.[11]
§  Silahkan saja kalau kau tak percaya. Tapi, buku ini telah memilihmu. Dia memintamu untuk menuliskan setiap kebencianmu terhadap mereka, setiap dendam dan amarah. Pada akhirnya, buku ini akan mengikutimu, dan kau akan membalas mereka”.[15]
§  Setetes darah itu, bergerak. [22]
§  Buku itu lalu bergerak gerak, lalu menutup dengan sendirinya. [22]
§  Namun, karena ada cahaya matahari yang menyelinap melalui celah-celah, setidaknya aku bisa melihat ada apa di ruangan itu. [30]
d.      Metafora: Gaya bahasa untuk membandingkan suatu benda dengan benda lain secara langsung.
§  Kasus ini susah untuk dipecahkan. [24]
e.       Hiperbola: Gaya bahasa untuk melukiskan keadaan secara berlebihan.
§  Mereka seakan lenyap ditelan bumi. [24]
§  Entah apa yang sedang bergemuruh dalam dadaku[25]
§  Paruh runcingnya melesat secepat kilat, lalu darah segar bercucuran.[35]

    II.            ANALISIS CERPEN DENGAN PENDEKATAN SEMIOTIK
Pendekatan semiotik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem tanda. Fenomenna realitas sebagai sistem tanda (ada penanda dan ada yang ditandai)
1.      Hidup sungguh tak berguna. [1]
Dalam kutipan kalimat trsebut dijelaskan bahwa hidup dari seorang Gio Buston terasa hampa dan sia-sia karena dalam hidupnya, ia tak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain di sekitarnya.
2.      Bagiku, hidup tak lebih dari sampah. [1]
Dalam kutipan kalimat trsebut dijelaskan bahwa hidup dari seorang Gio Buston terasa sia-sia karena dalam hidupnya, ia tak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain di sekitarnya. Tidak ada hal berharga yang ia peroleh selama hidup.

3.      Aku ini anak dari hasil hubungan gelap[2]
Dalam kutipan tersebut dijelaskan bahwa Gio adalah anak yang terlahir dari hubungan tidak sah atau hubungan diluar pernikahan atau secara kasarnya dapat disebutkan bahwa Gio adalah anak haram.
4.      Jika aku berada di kelas atau di manapun aku berada, mereka selalu menjaga jarak denganku. [2]
Dalam kutipan tersebut dapat dijelaskan bahwa maksud dari menjaga jarak adalah Gio selalui dijauhi teman-temannya. Teman-teman Gio tidak ingin mengenal atau tidak ingin berada di dekat Gio.
5.      kemudian, mataku menangkap kalau bibirnya tersenyum samar. Dia lalu berkata.[11]
Kutipan mmataku menangkap pada kalimat tersebut menjelaskan bahwa mata Gio melihat dengan jelas bahwa bibir Mr. Johan sedikit tersenyum.
6.      Namun, karena ada cahaya matahari yang menyelinap melalui celah-celah, setidaknya aku bisa melihat ada apa di ruangan itu. [30]
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa di dalam ruangan tersebut tidak begitu gelap kerena ada cahaya meatahari yang masuk melalui celah-celah ruangan tersebut.
7.      Kasus ini susah untuk dipecahkan. [24]
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa kasus yang terjadi dalam cerpen tersebut sulit untuk diselesaikan/dituntaskan.
8.      Mereka seakan lenyap ditelan bumi. [24]
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa George dan kawan-kawannya menghilang begitu saja tanpa ada yang mengetahui keberadaannya, dapat disimpulkan bahwa mereka tidak dapat ditemukan.
9.      Entah apa yang sedang bergemuruh dalam dadaku[25]
Kutipan tersebut menggambarkan kegelisahan hati seorang Gio antara perasaan senang dan lega karena George da kawan-kawannya menghilang sehingga tidak ada lagi yang membullynya atau perasaan iba  kerena George, dkk tidak kujung ditemukan, amaupun perasaan  bersalah karena telah membuat permohonan untuk melenyapkan George dan gengnya.
10.  Death Note
Death note  menggambarkan dendam dan kematian karena melalui buku kematian itu, Gio membalaskan dendamnya kepada George dank arena buku itu pula George,Lucas, Tommy, Edden, Bill, bahkan Gio menemui kematiannya.
11.  Mr. Johan yang digambarkan memiliki kepala gagak dan sayap hitam  yang menggambarkan iblis karena wujudnya yang menyeramkan dan tipu muslihatnya dalam membohongi Gio untukmembuat perjanjiankematian terhahdap dirinya.
12.  Sayap hitam Mr. Johan menggambarkan kegelapan, kegelapan yang digambarkan dari sosoknya adalah kejahatan.

 III.            ANALISIS CERPEN DENGAN PENDEKATAN INTERTEKSTUAL
Pendekatan Intertekstual adalah kajian terhadap sejumlah teks yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Cerpen berjudul Death Note tersebut , di dalamnya terdapat hubungan antar tokoh yang memiliki bentuk watak tokoh yang dinamis sperti tokoh Gio dan tokoh Mr Johan.
§  Gio (Protagonis-Antagonis-Protagonis)
§  Mr Johan (Protagonis-Antagonis)
Gio merupakan tokoh yang protagonis kemudian menemui konflik ketika dikejar-kejar oleh geng George, dan karena hal tersebut Gio bertemu dengan Mr Johan yang memberinya sebuah buku dan menawarinya bantuan melalui buku tersebut untuk menuliskan segala keinginannya, dari itikat baik Mr Johan di awl kemunculannya dalam cerpen dapat ditafsirkan bahwa ia adalah tokoh protagonis. Setelah sempat menolak dan membuang buku tersebut, Gio akhirnya menemukan buku itu kembali di dalam tasnya.
Lalu Gio berubah menjadi anak yang kalap dengan dendam, ia menjadi tokoh antagonis dengan menuliskan keinginanya untuk menghabisi George, Lucas, Tommy, Edden, dan Bill. Setelah mendengar bahwa George dan gengnya menghilang Gio merasa gundah, awalnya ia merasa lega dan senang. Namun selang seminggu Geoorge tak ditemukan, Gio merasa bersalah dan mucullah itikat baik Gio untuk mengakhiri keinginan jahatnya menghabisi George. Rasa bersalah tersebut membuat Gio kembali menjadi tokoh protagonis yang mendorongnya untuk menemui Mr Johan untuk mengenmablikan buku tersebut dan mengembalikan keadaan seperti semula.
Namun sayangnya ia menemui sosok Mr Johan dalam wujud yang berbeda, manusia setengah iblis yang memakan George dan kawan-kawannya dan hingga akhirnya membunuh Gio. Di situlah terjadi perubahan tipe tokoh Mr Johan dari protagonist ke antagonis.

 IV.            ANALISIS CERPEN DENGAN PENDEKATAN DEKONSTRUKSI
Pendekatan dekonstruksi merupakan kajian yang menolak bahwa bahsa memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan. Pendekatan dekonstruksi bermaksud untuk melacak unsure APORIA, yaitu makna PARADOKSAL, makna KONTRADIKTIF, makna IRONI, dalam karya sastra yang dibaca (WIS)
Dalam cerpen tersebut terdapat beberapa hasil analisis memlalui pendekatan dekonstruksi yang meliputi:
1.      Dari struktur cerpen berjudul Death Note, digambarkan bahwa Gio merupakan tokoh yang tidak berani melawan Jorge, namun buktinya Gio berani memukul hidung George hingga berdarah. Hal tersebut jalas kontras dengan penjelasan bahwa dirinya tak pernah berani melawan George.
2.      Dari struktur cerpen tersebut dapat digambarkan bahwa Gio merupakan tokoh yang pendendam, namun secara dekonstruksi dapat pula diartikan bahwa Gio adalah tokoh yang menuntut atau mencari keadilan.
3.      Mr Johan digambarkan sebagai iblis, namun secara dekonstruksi bisa saja Mr Johan berperan sebagai dewa keadilan.
4.      Ironisnya pada awalnya dijelaskan bahwa buku yang diberikan Mr Johan dapat mengabulkan segala keinginan, namun Gio menuliskan keinginan jahat di dalamnya. Padahal sebelumnya ia sempat berpikir untuk menuliskan agar tidak ada pembullyan saja tanpa harus menghabisi nyawa teman-temannya. Akhirnya buku itu benar-benar menjadi buku catatan kematian.
5.      Sangat ironis, tokoh protagonis seperti Gio menjadi terpengaruh dendam dan akhirnya mati diterkam iblis.


BAB III
PENUTUP

I.             SIMPULAN
Stanton membedakan unsur pembangun sebuah prosa fiksi ke dalam tiga bagian yaitu: FAKTA, TEMA, dan SARANA CERITA. Dan dalam menganalisis sebuah karya fiksi prosa, kita memerlukan pemahaman untuk mendalami cerita yang kita baca. Dalam analisis dengan menggunakan pandangan Stanton, kita perlu mencari unsure-unsur objektif dalam teks bacaan dan menemukan unsure-unsur yang diterapkan Stanton. Dalam tiga unsur itu, fakta mencakup alur/plot, tokoh/penokohan, dan juga latar. Sedangkan untuk tema cerita mencakup inti dasar dari cerita tersebut, dan untuk sarana cerita adalah sudut pandang yang disampaikan pengarang dan juga diterima oleh pembaca.
Dalam analisis menggunakan pendekatan Objektif, kajian terhadap cerpen dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada karya sastra itu sendiri bebas dari realitas pengarang maupun pembaca. Pendekatan objektif  juga mampu menghasilkan pendekatan structural, dan pendekatan structural mampu menghasilkan pendekatan semiotic Pendekatan seiotik sendiri merupan pendekatan yang berkaian dengan sistem tanda ( ada penanda dan ada yang ditandai)
Selain pendekatan objektif dan semiotic, terdapat pula pendekatan intertekstual dan dekonstruksi. Pendekatan intertekstual merupakan kajian terhadap sejumlah teks dalam sebuah cerpen yang diduga memiliki hubungan tertentu. Sedangkan pendekatan dekonstruksi merupakan kajian dibalik makna structural yang menilak makna pasti dari cerpen itu sendiri.

II.                  DAFTAR PUSTAKA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan

Bagi kalian yang butuh referensi bagaimana menyusun sebuah laporan kegiatan, ini adalah salah satu referensi kedua saya, setelah sebelumnya saya sempat mengunggah contoh laporan kegiatan. Laporan kegiatan yang saya unggah ini berkaitan dengan dilaksanakannya Kuliah Kerja Lapangan di Pulau Dewata Bali pada April, 2018. Semoga apa yang saya unggah dapat bermanfaat. LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN BALI, 4 - 8APRIL 2018 KELOMPOK 9 KELAS 4 A WINDA RAHMAWATI        16410012 SOFI LAILATU ROHMAH 16410017 SELMA EKA NOVITA         16410022 YHOGA PRATAMA            16410025 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS PGRI SEMARANG 2018    LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN BALI, 4 - 8APRIL 2018 Disusun dan diajukan oleh KELOMPOK 9 KELAS 4 A WINDA...

Contoh Laporan Kegiatan

     Dalam lingkup sekolah, kuliah, ataupun dunia kerja, apa lagi dalam sebuah instansi tentunya anda pasti akan menemui dan mengikuti berbagai macam acara kegiatan yang bersifat formal. Salah satunya adalah sebuah acara seminar. Dan tak jarang pula anda harus dibebani untuk membuat sebuah laporan kegiatan yang rinci dan benar. Hal tersebut tentunya tak akan mudah bagi anda yang sebelumnya belum pernah membuat sebuah laporan kegiatan, mungkin anda akan merasa bingung dari mana anda harus mulai menyusun laporan anda, sedangkan date line waktu terus saja mengejar anda hingga menuju batas asa anda. Untuk itu pada kesempatan kali ini, saya akan berbagi kembali dengan anda mengenai bagaimana cara membuat laporan kegiatan beserta contoh yang akan saya berikan sewaktu saya mengikuti sebuah acara bertemakan "Bulan Bahasa".        Biasanya di dalam laporan kegiatan ada beberapa bab yang berisi judul, pembukaan dan penjelasan inti dari acara yan...

KELAHIRAN SASTRA INDONESIA

KELAHIRAN SASTRA INDONESIA Dalam dunia sastra, selama ini kita hanya mengetahui dan menikmati beberapa karya sastra dan satrawan-sastrawan yang popular dan sering kali kita dengar atau kita temukan pada pelajaran bahasa Indonesia di masa-masa berada di bangku sekolah dahulu. Contohnya saja nama-nama sastrawan popular seperti Chairil Anwar, WS. Rendra, Pramodya Ananta Thoer, Sapardi Djoko Damono, dll. Namun pernahkah terpikir di dalam benak kita sebuah pertanyaan mengenai kapan sebuah sastra terlahir? Lebih tepatnya lagi, kapankah kesusasastra Indonesia terlahir? Sebagai seseorang yang tertarik di bidang sastra ataupun sebagai seorang penikmat sastra atau bahkan sebagai seorang yang mendidikasihkan hidupnya di bidang sastra dan pendidikan bahasa dan sastra, hendaknya kita lebih bisa mengkritisi masalah-masalah kecil dan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang bisa saja timbul seperti ini dengan berpikir logis. Untuk itu mari kita cari tahu bagaiman dan kapan sastra Indonesia...