Langsung ke konten utama

KELAHIRAN SASTRA INDONESIA

KELAHIRAN SASTRA INDONESIA


Dalam dunia sastra, selama ini kita hanya mengetahui dan menikmati beberapa karya sastra dan satrawan-sastrawan yang popular dan sering kali kita dengar atau kita temukan pada pelajaran bahasa Indonesia di masa-masa berada di bangku sekolah dahulu. Contohnya saja nama-nama sastrawan popular seperti Chairil Anwar, WS. Rendra, Pramodya Ananta Thoer, Sapardi Djoko Damono, dll. Namun pernahkah terpikir di dalam benak kita sebuah pertanyaan mengenai kapan sebuah sastra terlahir? Lebih tepatnya lagi, kapankah kesusasastra Indonesia terlahir?
Sebagai seseorang yang tertarik di bidang sastra ataupun sebagai seorang penikmat sastra atau bahkan sebagai seorang yang mendidikasihkan hidupnya di bidang sastra dan pendidikan bahasa dan sastra, hendaknya kita lebih bisa mengkritisi masalah-masalah kecil dan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang bisa saja timbul seperti ini dengan berpikir logis. Untuk itu mari kita cari tahu bagaiman dan kapan sastra Indonesia terlahir.
Kelahiran sastra Indonesia itu sendiri merupakan bagian dari sebuah sejarah sastra yang tentunya sejarah tersebut terjadi di Indonesia. Sampai saat ini penentuan awal kelahiran sastra Indonesia serta tolok ukur suatu karya disebut sebagai sastra Indonesia masih menjadi polemik. Sejauh ini para pengamat dan akademisi sastra (humaniora) memiliki pertimbangan yang berbeda sehingga menghasilkan berbagai pendapat yang berbeda pula mengenai awal lahirnya sastra Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pemahaman yang berbeda mengenai karakteristik sastra Indonesia, juga belum adanya satu kesepakatan yang dapat digunakan sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.
Sastra hakikatnya adalah sebuah gejala universal yang tidak selalu dipersepsi secara sama sehingga interpretasi tergantung dari mana sudut yang digunakan oleh penikmatnya dalam memahami sebuah karya sastra. Selain itu, pada hakikatnya ilmu sastra memiliki sifat intersubjektif yakni sejauh pendapat tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan diterima, maka pendapat tersebut dianggap “benar”. Hal inilah yang menyebabkan perumusan kesejarahan sastra yang begitu panjang dan penentuan awal lahirnya sastra Indonesia menjadi rumit hingga saat ini.
Secara umum sastra Indonesia dibagi menjadi Sastra Indonesia Lama dan Sastra Indonesia Baru. Antara periode Sastra Indonesia Lama (klasik, tradisional) dan Sastra Indonesia Baru dimunculkan Sastra Indonesia Peralihan oleh sebagian ahli. Berikut ini akan diterangkan Sastra Indonesia Lama dan Sastra Indonesia Baru.
  • Sastra Indonesia Lama
Hampir semua ahli sepakat bahwa Sastra Indonesia (Melayu) Lama tidak diketahui kapan munculnya. Sebagian ahli berpendapat bahwa Sastra Indonesia Lama adalah periode sastra yang dimulai pada masa prasejarah (sebelum suatu bangsa mengenal tulisan) dan berakhir pada masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Tetapi setidaknya dapat dikatakan bahwa Sastra Indonesia Lama muncul bersamaan dengan dimulainya peradaban bangsa Indonesia, namun kapan bangsa Indonesia itu ada juga masih menjadi perdebatan. Yang tidak disepakati oleh para ahli adalah kapan sejarah sastra Indonesia memasuki masa baru. Ada yang berpendapat bahwa Sastra Indonesia Lama berakhir pada masa Kebangkitan Nasional (1908), masa Balai Pustaka (1920), dan masa munculnya Bahasa Indonesia (1928). Ada pula yang berpendapat bahwa Sastra Indonesia Lama berakhir pada masa Abdullah bin Abdulkadir Munsyi (1800-an). Ada juga yang mengatakan bahwa sastra Indonesia Lama berakhir pada masa Balai Pustaka. Sastra Indonesia Lama tidak dapat digolong-golongkan berdasarkan jangka waktu tertentu seperti halnya Sastra Indonesia Baru karena hasil-hasil dari sastra masa ini umumnya tidak mencantumkan waktu dan nama pengarangnya.
  • Sastra Indonesia Baru
Sastra Indonesia Baru ditandai dengan digunakannya bahasa Indonesia. Sebagai cerminan pikiran dan perasaan manusia dalam hubungannya dengan sastra bahasa menggambarkan suatu keadaan atau gambaran dalam pikiran yang disajikan dengan penuh imajinasi atau pencitraan. Sastra Indonesia Baru (modern) lahir bersamaan dengan mulai menyingsingnya fajar nasionalisme Indonesia. Jatuh bangunnya sastra Indonesia modern tidak terlepas dari sejarah terbangunnya nasionalisme itu sendiri. Sastra Indonesia Baru  lebih bersifat dinamis, individualistis, realistis. Para sastrawan pada zaman ini lebih berani meniru, menyatakan, menggambarkan isi hatinya seperti sastrawan Eropa. Sastra Indonesia Baru, menurut beberapa ahli, dimulai dari munculnya roman-roman terbitan Balai Pustaka tahun 1900-an. Oleh karena itu, dibandingkan dengan sastra dunia, sejarah Sastra Indonesia Baru (SI) hingga sekarang terhitung masih sangat muda. Sastra Indonesia setidaknya didasarkan pada lahirnya Balai Pustaka sebagai tonggak politik sastra Indonesia. Munculnya unsure nasionalisme dalam karya sastra tanah air, menjamurnya karya sastra dengan tema sosial masyarakat modern, serta mulai ditinggalkannya ciri sastra lama menjadi ciri Sastra Indonesia.
Berikut ini adalah pendapat beberapa ahli di bidang sastra mengenai kelahiran sastra Indonesia:
1.                  Umar Junus
Umar Junus berpendapat bahwa sastra ada sesudah bahasa ada. Karena bahasa Indonesia baru terlahir saat adanya sumpah pemuda pada tahun 1928, maka Umar Yunus berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia baru lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Sehingga menurutnya, karya sastra yang terbit sebelum tahun 1928 digolongkan bukan sebagai hasil satra Indonesia, melainkan sebagai hasil karya Sastra Melayu saja. Tahun 1928 dipandang Umar Junus sebagai titik mula kesusastraan Indonesia meski menurutnya hal tersebut “dapat berubah sedikit” dengan menarik garis mundur atau maju. Ia mengemukakan dua data berkaitan dengan hal tersebut.
Ø  Data yang pertama dengan garis mundur tahun 1921 saat muncul apa yang dinamakan Angkatan Balai Pustaka, dengan terbitnya Azab dan Sengsara karangan Merari Siregar dan Siti Nurbaja karangan Marah Rusli.
Ø  Data yang kedua garis maju tahun 1933 saat terbit majalah Pujangga Baru. Dengan alasan buku-buku terbitan Balai Pustaka bertentangan dengan sifat nasional Indonesia, Umar Junus mengambil pendirian bahwa sastra Indonesia memperlihatkan dirinya dengan tegas pada tahun 1933. Tapi dengan menggunakan titik tolak yang sama, yaitu “kesusastraan Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada”.
2.                  Ajip Rosidi
Menurut Ajip Rosidi, kesusastraan Indonesia lahir pada tahun 1921. Sebab sebelum mengakui bahasa Indonesia, maka bahasa Indonesia sebenarnya telah lebih dulu ada.
Berbeda dengan Umar Junus yang membuat patokan pada munculnya Azab dan Sengsara dan Siti Nurbaja, Ajip melihat pada isi kesadaran nasional dari sastra yang terbit pada tahun-tahun 1921 seperti halnya sajak-sajak Muhammad Yamin, Moh. Hatta, atau Sanusi Pane dalam majalah Jong Sumatra, diikuti bentuk yang lepas dari tradisi lama oleh Roestam Effendi yang menerbitkan kumpulan Percikan Permenungan. Saat itulah bahasa dan sastra Indonesia lahir, meski “belum disahkan”.
3.                  Andi Teeuw
Andi Teeuw memiliki pendapat yang berbeda dari dua tokoh diatas. Akan tetapi, tahun lahirnya Sastra Indonesia hampir sama dengan Ajip yaitu tahun 1920. Menurutnya, pada waktu itu para pemuda Indonesia untuk pertama kalinya menyatakan perasaan dan ide yang terdapat pada masyarakat tradisional setempat dan menuangkannya dalam bentuk sastra. Selain itu, pada tahun yang sama para pemuda juga menulis puisi baru Indonesia. Lalu A. Teeuw menegaskan pendapat lahirnya kesusastraan Indonesia pada tahun 1920 karena pada tahun ini terbit novel Mirari Siregar yang berjudul Azab dan Sensara.

            Kesimpulan : Bahasa dan kesusastraan Indonesia terdiri dari kesusastraan lama dan kesusastraan baru. Kesusastraan lama telah disepakati tidak diketahui kapan mulai terlahir atau muncul di Indonesia oleh para ahli sastra Indonesia. Sedangkan kesusastraan baru Indonesia lahir pada saat bahasa dianggap ada, dengan bukti adanya peristiwa-peristiwa nasional. Jadi kesusastraan Indonesia terlahir pada tahun:
1908 (Saat Kebangkitan Nasional)
1920 (Saat berdirinya Balai Pustaka)
1928 (Saat adanya Sumpah Pemuda)
1945 (Saat adanya proklamasi kemerdekaan)
karya sastra sebelum itu adalah hasil sastra bahasa daerah melayu yang diangap sebagai kesusastraan klasik.

Sumber:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan

Bagi kalian yang butuh referensi bagaimana menyusun sebuah laporan kegiatan, ini adalah salah satu referensi kedua saya, setelah sebelumnya saya sempat mengunggah contoh laporan kegiatan. Laporan kegiatan yang saya unggah ini berkaitan dengan dilaksanakannya Kuliah Kerja Lapangan di Pulau Dewata Bali pada April, 2018. Semoga apa yang saya unggah dapat bermanfaat. LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN BALI, 4 - 8APRIL 2018 KELOMPOK 9 KELAS 4 A WINDA RAHMAWATI        16410012 SOFI LAILATU ROHMAH 16410017 SELMA EKA NOVITA         16410022 YHOGA PRATAMA            16410025 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS PGRI SEMARANG 2018    LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN BALI, 4 - 8APRIL 2018 Disusun dan diajukan oleh KELOMPOK 9 KELAS 4 A WINDA...

Contoh Laporan Kegiatan

     Dalam lingkup sekolah, kuliah, ataupun dunia kerja, apa lagi dalam sebuah instansi tentunya anda pasti akan menemui dan mengikuti berbagai macam acara kegiatan yang bersifat formal. Salah satunya adalah sebuah acara seminar. Dan tak jarang pula anda harus dibebani untuk membuat sebuah laporan kegiatan yang rinci dan benar. Hal tersebut tentunya tak akan mudah bagi anda yang sebelumnya belum pernah membuat sebuah laporan kegiatan, mungkin anda akan merasa bingung dari mana anda harus mulai menyusun laporan anda, sedangkan date line waktu terus saja mengejar anda hingga menuju batas asa anda. Untuk itu pada kesempatan kali ini, saya akan berbagi kembali dengan anda mengenai bagaimana cara membuat laporan kegiatan beserta contoh yang akan saya berikan sewaktu saya mengikuti sebuah acara bertemakan "Bulan Bahasa".        Biasanya di dalam laporan kegiatan ada beberapa bab yang berisi judul, pembukaan dan penjelasan inti dari acara yan...