Assallamualaikum wr. wb.
Semoga hari kalian menyenangkan teman-temanku, saya harap kalian tidak bosan berjumpa dengan saya lagi melalui perantara tulisan. Kali ini saya akan menuliskan sedikit pengalaman dari diri saya pribadi ketika mengikuti sebuah acara seminar nasional.
Sebuah acara Seminar Nasional diselenggarakan oleh program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Balairung Universitas PGRI Semarang tepatnya pada tanggal 15 Desember 2016 dengan tema "Budaya Literasi Menuju Generasi Emas bagi Guru Pembelajar" dengan menghadirkan tiga orang pembicara kunci yang ternama, yaitu Prof. Gufron Ali Ibrahim (Kepala Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), NH. Dini (Sastrawan), dan Seno Gumira Ajidarma (Rektor IKJ).
Acara tersebut dimulai pada pukul 08.45 WIB dan dibuka dengan doa, lantunan lagu kebangsaan kita "Indonesia Raya", dan sebuah penampilan drama monolog oleh seorang mahasiswi program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Semarang. Selain itu, dua buah sesi sambutan juga disampaikan oleh Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Nanik Setyawati, S.S., M.Hum. dan Bapak Rektor Universitas PGRI Semarang Dr. Muhdi, S.H., M.Hum.
Dalam sambutannya, Bapak Muhdi, Rektor UPGRIS menegaskan bahwa budaya membaca sangat diperlukan guna meningkatkan SDM bangsa kita.
"Saya sedih, dalam survei kemarin budaya membaca di Indonesia hanya sekitar 0.001 persen, jadi kira-kira setiap seribu orang, hanya ada satu orang yang gemar membaca. Maka lewat seminar ini, mari kita mulai budayakan membaca untuk mencapai masa depan yang baik." Kata Bapak Muhdi di sela-sela sambutannya itu.
Setelah sambutan yang disampaikan oleh Rektor UPGRIS, acara dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh ketiga pembicara kunci. NH. Dini menyampaikan mengenai pentingnya bahasa sebagai jati diri bangsa kita. Ia menerangkan bahwa kita seharusnya bangga dengan bahasa nasional yang kita miliki. Bahkan ia menyebutkan contoh bagaimana pentingnya bahasa sebagai jati diri bangsa.
"Di Filiphina memiliki bahasa Tagalog, sama halnya dengan di Malaysia terdapat bahasa Melayu yang serumpun dan menyerupai bahasa Indonesia, namun ketika di lingkungan umum mereka lebih dominan menggunakan bahasa Inggris-Amerika dari pada bahasanya sendiri." Contoh yang disampaikan NH. Dini pada materinya.
Hal tersebut tentunya menyadarkan kita bahwa seharusnya kita bangga menggunakan bahasa ibu kita sendiri, itu artinya jati diri bangsa kita masih terjaga hingga saat ini. Selain itu, NH. Dini juga menyebutkan bahwa kita juga patut lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia, karena akan sangat lebih memprihatinkan apabila kita sebagai warga negara Indonesia justru kehilangan jati diri disaat warga negara asing sangat bersemangat mempelajari bahasa kita. Bahkan di ASEAN sendiri bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Lalu apakah kita tidak bangga dengan hal tersebut?
Selain itu, pembicara kedua, yaitu Prof. Gufron juga menyampaikan materinya, ia mengeatakan bahwa literasi membaca siswa bangsa Indonesia hanya mengalami peningkatan satu point pada tahun 2012 hingga 2015. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui data PISA (Program for International Students Assessment) yang diikuti anak sekolah antarbangsa yang berusia 13-15 tahun dengan menggunakan tiga variabel yaitu literasi sains, matematika, dan membaca. Dimana literasi sains mengalami peningkatan sebanyak 21 point dari 382 point menjadi 403 point, dan matematika mengalami peningkatan sebanyak sebelas point dari 375 point menjadi 386 point, sedangkan literasi membaca hanya mengalami peningkatan satu point saja dari 396 menjadi 397 point.
Hal tersebut tentunya sangat memperihatinkan, oleh karena itu Prof. Gufron menyebutkan perlunya perubahan sistem pendidikan ke arah yang lebih baik. Ia mengatakan bahwa keteladanan literasi dapat dimulai dari guru, apabila ingin siswa-siswanya rajin membaca, maka guru juga patut memberikan teladan membaca."Guru cerdas itu suka baca buku" katanya.
Selain menyampaikan mengenai keteladanan guru bagi muridnya dalam membaca. Prof, Gufron juga menyampaikan bagaimana cara menumbuhkan kebiasaan membaca." Dimulai dari rumah, mari kita biasakan membaca 30 menit saja seharinya sebelum tidur. Selain kitu kita juga bisa menerapkan satu novel dalam satu semester untuk dibaca dalam dunia pendidikan formal" Kira-kira seperti itu yang disampaikannya.
Berbeda dengan yang disampaikan Seno Gumira Ajidarma yang lebih tertuju pada manfaat pentingnya membaca dalam penyampaian materinya.
"Tanpa membaca hidup akan rugi. Mending tidak usah hidup" Kata Seno saat itu.
Selain itu Seno juga mengatakan bahwa bahasa tidak memiliki makna yang tetap, melainkan bahasa adalah makna yang ada dari adanya konteks sosial. Namun berdasarkan konteks sosial itu, kita tidak boleh memanfaatkannya hanya sebagai kepentingan kelompok, ras, atau agama. Ia mengatakan bahwa kita harus lebih kritis lagi dalam menanggapi kepentingan kelompok dan penggunaan bahasa.
Dari berbagai materi yang telah disampaikan, saya jadi semakin mengerti bahwa bahasa adalah sebuah jati diri bangsa yang merupakan sebuah makna yang tidak tetap, sehingga keberadaannya harus dijaga dan disikapi dengan kritis dan baik.
Kiranya hanya itu yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat bagi kita semua. Dan seperti biasanya, saya sampaikan rasa terima kasih kepada kalian semua yang telah meluangkan waktunya untuk membaca karya saya. Terima kasih :))
Komentar
Posting Komentar