Udah 10 November ni, ada yang ingat peristiwa bersejarah apa yang terjadi pada tanggal dan bulan itu, sampai-sampai diperingati setiap tahunnya? Ya, hari ini adalah peringatan Hari Pahlawan. Dan berkaitan dengan hal itu, hari ini saya baru saja menyelesaikan sebuah tulisan yang bertemakan tentang momen hari pahlawan dengan judul "Merdeka Saat Itu Mati Saat Ini", untuk lebih jelasnya, mari kita baca bersama apa yang saya tulis dalam laman ini :)
Merdeka
saat itu dan mati saat ini? Apa sih maksudnya? Kenapa saya memberi judul seperti itu? Mungkin sebagian dari diri
kita pun tak berminat untuk membacanya, namun pahamilah kawan, saya menulis ini
bermaksudkan untuk menumbuhkan rasa kecintaan kita terhadap bangsa dan negara,
serta untuk menumbuhkan rasa perduli dan menghargai jasa para pahlawan kita
pada masa perjuangan. Untuk itu, cobalah untuk mengesampingkan keegoisan dan
tumpukan rasa malas kalian untuk tidak membaca tulisan saya ini. Saya tahu,
saya bukanlah seorang penulis yang handal, namun cobalah untuk mulai menghargai
guratan-guratan ekspresi orang lain yang tertuang dalam simbol-simbol tertulis
seperti ini. Entah itu sebuah karya yang memiliki porsi layak untuk dibaca,
ataupun tidak, setidaknya kalian dapat memperoleh sebuah informasi dan
jikalaupun tidak, kalian dapat pula memberi saran yang membangun bagi penulis untuk
mengembangkan ekspresinya dalam berkarya. Sedikit apresiasi kecil tersebut
tentunya akan mendorong semangat seorang penulis, dan memungkinkan terciptanya
pahlawan-pahlawan pena yang senjatanya dapat terasah dengan tajam sedikit demi
sedikit.
Pertama, marilah
kita pahami apa yang saya maksudkan dalam judul yang saya bubuhkan dalam
karangan saya ini. Merdeka saat itu, mati saat ini. Makna dari kata saat itu tentunya adalah sesuatu yang
terjadi di waktu lampau. Sebaliknya, makna dari kata saat ini adalah sebuah peristiwa yang baru saja terjadi. Dari kedua
kalimat tersebut dapat diketahui bahwa telah terjadi sebuah perbandingan antara
jaman dahulu dan jaman sekarang. Lalu dimana letak perbandingannya?
Perbandingan dari judul yang saya bubuhkan tersebut terletak pada kata merdeka
dan kata mati. Kenapa seperti itu? Marilah kita telaah lebih lanjut lagi.
Awalnya
saya terinpirasi dari sebuah potongan kalimat pidato yang disampaikan oleh seorang
tokoh hebat yang pernah dimiliki bangsa ini. Kalimat yang diucapkan oleh Bung
Tomo saat lautan manusia bertumpah rukah mempertahankan kemardekaan bangsa ini
dalam peristiwa 10 November 1945 lalu. “ Merdeka, atau Mati!” Serunya di akhir
pidato yang diutarakannya membangkitkan gelora semangat kaum muda
mempertahankan bangsa Indonesia saat itu.
Surabaya,
10 November 1945. Sebuah peristiwa bersejarah yang menjadi tolak ukur
perjuangan rakyat Indonesia pada masa itu. Ketika Belanda kembali masuk
menerobos dinding pertahanan Indonesia, yang bahkan baru saja dibangun dari kebebasan
akan kekalahan Jepang. Dengan dalil dan alibi pasukan NICA (Pasukan Pemerintah
Sipil Belanda atas Indonesia) untuk melucuti senjata jepang dan membebaskan
tahanan bangsanya. Namun tetap saja, aroma keserakahan dari pihak Belanda saat
itu masih saja tercium. Dan benar, hal tersebut dibuktikan dengan polah tingkah
sekutu yang menyerang Penjara Kalisok,
Surabaya dan melepaskan para perwira Belanda yang ditahan di sana. Selain itu,
sekutu juga membebaskan balada tentara-tentara Belanda dan membekalinya denga
persenjataan lengkap. Saat itu memang kebodohan dan kurangnya pendidikan
menjadikan bangsa kita mudah dibohongi, namun hal itu tidak menjadi akhir dari
perjuangan. Dengan modal kenekatan, para pejuang rela mengorbankan jiwa dan raganya
untuk bumi pertiwi, hal ini tentu saja berbanding terbalik dengan kenekatan
kaum muda di jaman sekarang ini yang hanya bermodalkan nekat untuk kesenangan
pribadi tanpa mengorbankan apa yang dimilikinya.
Tak
berhenti hanya di sebatas kenekatan saja, para pemuda dan pejuang bangsa di
Surabaya pun turut bahu-membahu dan bergotong royong melawan sekutu dengan
semangat yang berapi-api. Arek-arek Surabaya ini pun telah sesiap mungkin
menyiapkan mentalnya untuk menjadikan dirinya sebagai tumbal kemerdekaan bangsa
yang harumnya akan menyeruak selamanya. Melenyapkan rasa takut akan hadirnya
malaikat pencabut nyawa yang selalu siaga di sisi mereka dan menciptakan sebuah
awal baru dari kematian. Berbeda dengan apa yang terjadi di era ini dan di negara
ini, dimana kematian diciptakan dari kebebasan yang telah disumbangkan para
pahlawan bunga bangsa. Kurangnya kesadaran pemuda di jaman ini akan keutuhan negara
semakin besar. Penjajahan bukan lagi tentang senjata, alusita, ataupun bambu
runcing lagi, melainkan penjajahan terjadi di bidang bahasa dan budaya. Anak
muda saat ini cenderung lebih senang menerapkan budaya dan bahasa orang asing,
terutama bangsa barat. Hal tersebut dianggap lebih modern dan keren di kalangan
pemuda saat ini. Namun sedikit sekali dari mereka yang memliki kesadaran bahwa
apa yang dilakukannya dapat mengikis keutuhan bangsa kita. Sebenarnya, saya
pribadi sangat berharap jika kawula muda saat ini dapat memiliki dan mewarisi
jiwa nasionalisme dan semangat yang berapi-api seperti yang dimiliki oleh
pejuang kemerdekaan kita dulu yang telah gugur menyisakan nama dan jasanya.
Jangan hanya menjadi seseorang yang hanya bisa mengumpulkan tumpukan kemalasan
di atas sebuah ranjang nyaman, atau menghabiskan waktu dengan sesuatu yang
tidak berguna saja. Negara kita menunggu campur tangan kita dalam memajukan dan
mensejahterakannya.
Pasukan
sekutu mulai berulah lagi dengan menduduki pangkalan udara dan gedung-gedung
penting, selain itu sekutu juga menyebarkan selebaran-selebaran yang berisikan
bahwa rakyat Indonesia harus menyerahkan senjatanya dalam kurun waktu 48 jam.
Karena hal tersebut, arek-arek Surabaya pun merasa tersinggung diperlakukan
semena-mena oleh sekutu yang posisinya hanya sebagai tamu di Surabaya. Kemudian
mereka pun memutuskan untuk menyerang sekutu dengan wajah garang nan
menyeramkan seperti seorang malaikat maut dan malaikat penunggu pintu gerbang
neraka beserta api yang berkobar-kobar di puncak emosinya. Semangat yang tak
kenal kata menyerah seperti inilah yang sebaiknya kita tiru dalam keseharian kita.
Puncak
dari peristiwa ini adalah saat sekutu dengan seenaknya mengibarkan bendera
dengan warna merah, putih, biru (bendera Belanda) di atap Hotel Yamato tanpa
izin dari pemerintah Indonesia. Tindakan tersebut, membuat arek-arek Surabaya
naik pitam dan berusaha menurunkan bendera tersebut. Dan perjuangan pemuda saat
itu pun tidak berakhir sia-sia, pangkalan udara dan gedung-gedung penting yang
diduduki Belanda pun dapat diambil alih kembali dan bendera yang dikibarkan di
atap Hotel Yamato dapat diganti dengan sang saka merah putih dengan menyobek bendera biru dan hanya menyisakan
warna darah dan tulang yaitu merah dan putih. Peristiwa ini pun kemudian
diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Pahlawan yang jatuh setiap tanggal 10
November.
Dari
sedikit uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perjuangan para pemuda di jaman
penjajahan dan jaman setelah merdeka jauh berbeda. Kemauan yang dimiliki pemuda
jaman sekarang hanya berpusat pada kebutuhan pribadinya saja, sedangkan pemuda
pada jaman dahulu rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk negara dengan
kemauan yang besar untuk merdeka bersama-sama. Hal ini cukup membuktikan bahwa
dahulu kita berhasil memperjuangkan kemerdekaan, namun saat ini kita belum
cukup berhasil mempertahankannya.
Komentar
Posting Komentar